Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Perguruan Tinggi Diajak Kembangkan "Renewal Energy"

Universitas Pertamina membangun pembangkit listrik tenaga angin di atap gedung Universitas Pertamina, Simprug, Jakarta. Pemerintah mengajak perguruan tinggi mengembangkan energi baru terbarukan untuk mengantisipasi berkurangnya energi fosil.(KOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI)

JAKARTA - Pemerintah meminta perguruan tinggi mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Pengembangan EBT harus segera dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya sumber energi fosil, seperti minyak, gas, dan batubara.

Dalam catatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berupa Outlook Energi 2015, konsumsi energi final di Indonesia meningkat dari 778 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada 2000 menjadi 1.211 juta SBM pada 2013 atau tumbuh sebesar 3,46 persen per tahun.

Tingginya tingkat konsumsi energi tersebut menguras sumber daya energi fosil dibandingkan penemuan cadangan yang baru. Oleh karena itu, penggunaan EBT tak bisa lagi ditunda. Pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional mencapai 23 persen pada 2025.

Potensi EBT yang bisa dimanfaatkan antara lain angin (bayu), tenaga matahari (surya), gelombang laut, panas bumi (geothermal), biomassa, air (hidro). Bahkan, sampah yang dikelola sedemikian rupa bisa digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Potensi EBT di Indonesia cukup besar, seperti energi air sebesar 75 Giga Watt (GW), panas bumi 17 GW, surya 200 GW, dan biomassa 33 GW. “Potensinya sangat besar dan masih banyak yang belum digarap,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Archandra Tahar, saat peringatan Dies Natalis Universitas Pertamina di Gedung Wanita Patra, Kamis (1/2/2018).

Menurut dia, pengembangan EBT saat ini masih terganjal tingginya tingkat bunga perbankan dalam negeri untuk investasi sektor EBT. Tingkat bunga sebesar 10 hingga 11 persen dinilai tidak kondusif untuk pengembangan EBT.

Akibatnya, pengusaha kurang berminat dengan rate of returns sekitar 14 persen. Selisih yang bakal didapat pengusaha hanya sekitar 3 persen.
Panel surya dipasang di atap gedung Universitas Pertamina Jakarta yang menghasilkan daya 10 KWP(KOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI)

Pemerintah terus berupaya agar biaya pokok produksi EBT Indonesia tidak lebih mahal daripada energi fosil. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM mengupayakan mencari pembiayaan dari luar negeri dengan bunga yang lebih rendah.

Timur Tengah bisa menjual energi surya dengan harga 3 sen/KWh sebab lahan yang digunakan untuk memasang penampang surya tanpa biaya. Tak hanya itu, tingkat suku bunga di sana hanya sebesar 2 hingga 3 persen.

"Bisakah di Indonesia lahan yang digunakan untuk pengembangan EBT bebas biaya, di Monas misalnya?" ujarnya.

Paparan sinar matahari di Timur Tengah juga jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sementara, langit Indonesia kadang kala tertutup awan. Pasokan sinar matahari yang tidak stabil di Indonesia juga membutuhkan penanganan tersendiri.

Penggunaan tertinggi energi surya di Timur Tengah untuk pendingin ruangan pada siang hari, saat di mana matahari bersinar. Sementara, Indonesia masih membutuhkan energi untuk penerangan di malam hari. Dengan begitu, dibutuhkan batere untuk menyimpan energi sinar matahari agar dapat digunakan pada malam hari.

“Kompleks sekali persoalan kita dalam mengembangkan EBT,” katanya.

Sinergi triple helix

Dunia pendidikan memang mesti berperan besar dalam pengembangan EBT. Seperti Universitas Pertamina yang telah memiliki panel surya yang digunakan sebagai sumber energi pendingin ruangan di ruang tertentu. Selain itu, dua turbin angin dapat digunakan sebagai sumber energi lampu di ruangan terbatas.
Panel surya di kampus Universitas Pertamina menghasilkan daya 10 KWP yang digunakan sebagai energi pendukung untuk pendingin ruangan.(KOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI)

Rektor Universitas Pertamina Akhmaloka mengatakan pembangkit listrik tenaga surya di kampusnya menghasilkan energi listrik 10 KWP, sedangkan tenaga angin 2 KWP. Pembangunan pembangkit listrik EBT tersebut didukung Direktorat Gas PT Pertamina (Persero).

Selain itu, penyediaan infrastruktur laboratorium terintegrasi juga telah dilakukan. Dengan begitu, mahasiswa bisa melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan secara mendalam.

Pendidikan tinggi dituntut memiliki program yang overlap dengan industri dan pemerintah. Universitas bisa tetap menghasilkan lulusan dan publikasi penelitian, namun diperkuat dengan kerja sama industri dan pemerintah.

Menurut dia, perguruan tinggi tidak mungkin menanggung sendiri dana untuk riset dan penelitian. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi.

Pemerintah juga harus berperan dalam aspek kelembagaan kerja sama dan memberi insentif bagi perguruan tinggi dan industri. Misalnya, memberi insentif pajak untuk mendorong kerja sama dalam kegiatan riset dan pengembangan secara kolaboratif.

"Industri menyediakan program dan anggaran. Di sisi lain, perguruan tinggi menyediakan sumber daya manusia untuk melakukan riset dan menghasilkan inovasi," ujarnya.
Sumber: KOMPAS.com