Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Energi Terbarukan - Pembahasan

BAB III PEMBAHASAN

3.1            Contoh Teknologi Sumber Energi Terbarukan
3.1.1         Energi Panas Bumi

Energi panas bumi atau energi geothermal adalah energi yang dihasilkan oleh fluida, gas dan batuan yang terkandung di dalam perut bumi sehingga memerlukan proses pertambangan untuk memperolehnya.  Geotermal termasuk energi terbarukan karena siklus produksinya memanfaatkan fluida untuk mengambil panas dari dalam bumi ke permukaan dan fluida tersebut akan diinjeksikan kembali ke dalam tanah untuk proses produksi berkelanjutan.

Dengan banyaknya gunung vulkanik, Indonesia seharusnya menjadi raksasa dalam eksplorasi panas bumi sebagai sumber energi.

Pencarian sumber energi panas bumi sudah dilakukan sejak masa hindia belanda. Awal pekerjaan tersebut dilakukan pada tahun 1918 di lapangan kamojang, Jawa Barat. Namun hingga saat ini pemanfaatannya masih belum optimal. Potensi panas bumi Indonesia terletak di 256 lokasi dan hampir setengahnya berada di kawasan konservasi dengan potensi 28,1 GWe atau setara dengan 12 barel minyak bumi untuk pengoperasian selama 30 tahun.

Data dari Kementrian ESDM menunjukkan bahwa dari potensi 40% panas bumi dunia, hanya 4% atau sekitar 1189 MWe saja yang dimanfaatkan di bumi Indonesia. Daerah panas bumi yang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik baru 7 dari 256 lokasi atau sekitar 3% dengan kapasitas total terpasang 1189 MW.

Dalam aspek ekonomi, panas bumi adalah bentuk energi yang unik. Ia tidak dapat disimpan dan tidak dapat ditransportasikan dalam jarak jauh. Kondisi ini membuat panas bumi terlepas dari dinamika harga pasar. Selain itu panas bumi dapat menjadi alternatif yang sangat baik bagi bahan bakar fosil terutama untuk pemanfaatan pembangkit listrik sehinga dapat mengurangi subsidi energi.

Dalam aspek lingkungan, limbah yang dihasilkan hanya berupa air yang tidak merusak atmosfer dan lingkungan. Limbah buangan air pembangkit panas bumi akan diinjeksikan jauh ke dalam lapisan tanah (reservoir) dan tidak akan mempengaruhi persediaan air tanah. Emisi CO2 nya pun hanya berkisar di angka 200 kg/MWh, jauh lebih rendah bahkan kurang dari setengah emisi yang dihasilkan oleh gas alam, minyak bumi, diesel ataupun batubara.

Menurut Sukhyar, Kepala Badan Geologi Departemen ESDM, energi panas bumi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber energi terbarukan yang lain, di antaranya hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal. Selain itu, energi panas bumi mampu berproduksi secara terus menerus selama 24 jam, sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi. “Tingkat ketersediaan (availability) juga sangat tinggi, yaitu di atas 95%,”

Indonesia benar-benar dianugerahi dengan potensi alam yang luar biasa. Panas bumi yang terkandung di dalam perut buminya merupakan bentuk energi hasil rekayasa alam sehingga tidak diperlukan variasi rekayasa buatan untuk menggali potensi energi tersebut. Investasi yang diperlukan pun jauh lebih murah jika dibandingkan dengan negara lain. Dengan kisaran investasi yang sama, energi yang dihasilkan oleh Panas bumi Indonesia 10 kali lebih besar jika dibandingan dengan panas bumi dari negara lain.

Potensi geotermal Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Lapangan geotermal kamojang menjadi salah satu sumur produksi panas bumi paling produktif. Sumur ini masih dimanfaatkan hingga sekarang walau sudah beroperasi selama 27 tahun dan masih memiliki kapasitas panas bumi sebanyak 93%. Efisiensi energi yang sangat baik diperlihatkan oleh panas bumi sebagai sumber energi.

Dalam grafik yang diperoleh dari salah satu sumber di atas, potensi produksi sumur geothermal terus meningkat sejak pertama kali proses produksi dilakukan. Pada tahun 2025 diproyeksikan geothermal Indonesia dapat menghasilkan panas bumi sebesar 9500 MW atau setara dengan 400 ribu barel oil equivalen (boe) per harinya. Sebuah potensi energi yang sangat besar.

Berdasarkan informasi dari Kementrian ESDM, sampai dengan November 2009 total potensi panas bumi Indonesia diperkirakan mencapai 28.112 MWe yang tersebar di 256 titik. Terdapat penambahan 8 lokasi baru dengan potensi 400 MWe yang berasal dari penemuan lapangan pada tahun 2009.
Dengan segala potensi yang dimiliki, Indonesia seharusnya mampu menjadikan panas bumi sebagai sumber energi utama dan menjadi acuan bagi negara lainnnya. Selama ini kita masih berkiblat pada selandia baru dan islandia dalam upaya pemanfaatan teknologi panas bumi.

3.1.2         Energi Surya
(Sumber: http://kunaifi.wordpress.com/category/209-tenaga-matahari/)

Solar Sel Full Spektrum

Salah satu alasan utama mengapa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) kesulitan mengimbangi pembangkit listrik konvensional adalah karena efisiensinya yang rendah. Sehingga untuk mendapatkan energi listrik yang besar diperlukan luasan modul surya yang besar pula, yang berarti biaya pun besar.

Mayoritas solar sel komersial saat ini memiliki efisiensi sekitar 15%. Sedangkan efisiensi sebesar 30% sudah berhasil diuji di laboratorium namun belum dapat diproduksi untuk keperluan komersial.
Mengapa solar sel belum bisa mengkonversi radiasi matahari dengan efisiensi tinggi? Alasannya adalah karena material solar sel hanya mampu mengkonversi sebagian dari spektrum cahaya matahari yang diterimanya. Menurut Tomas Marvart dalam bukunya berjudul Solar Electricity, hanya sekitar 2/3 dari spektrum cahaya matahari yang dapat dikonversi menjadi listrik oleh material solar sel yang ada sekarang.

Namun kini ada harapan baru untuk mengkonversi semua spektrum cahaya matahari menjadi listrik. Riset yang dilakukan oleh Wladek Walukiewicz di Lawrence Berkeley National Laboratory telah berhasil mengkonversi seluruh spektrum. Dan yang juga menarik adalah bahwa proses produksi solar sel baru ini dapat dilakukan menggunakan teknik produksi konvensional.

Prinsip yang digunakan oleh Wladek Walukiewicz dan kawan-kawan adalah bahwa: tidak ada material yang mampu merespon semua panjang gelombang radiasi matahari, masing-masing material bekerja pada panjang gelombang yang berbeda pula, maka untuk memungkinkan proses konversi seluruh spektrum dilakukan penggabungan beberapa bahan berbeda dengan sensitifitas spektrum berbeda pula.

Satu cara untuk menggabungkan berbagai bahan adalah dengan menumpuk lapisan-lapisan semikonduktor berbeda dan menggabungkannya secara seri menggunakan kawat. Teknik ini walaupun mampu menggabungkan lapisan-lapisan berbeda, namun strukturnya masih rumit sehingga menyulitkan dalam proses fabrikasi. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat satu lapisan namun mampu bekerja dengan spektrum berbeda.
Tim peneliti mengatakan bahwa teknik baru yang mereka perkenalkan akan menghasilkan solar sel efisiensi tinggi dengan harga yang labih murah. Namun sayang, mereka belum menyebutkan setinggi apa efisiensi yang dapat dihasilkan.

3.1.3         Tenaga Air
(Sumber: http://kunaifi.wordpress.com/category/206-tenaga-air/)

Turbin Sungai Mississipi untuk 1,5 juta rumah

Sejumlah 160 ribu turbin air akan dipasang di Sungai Mississippi untuk menghasilkan listrik hingga 1600 MW listrik, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik 1,5 juta rumah. Perusahaan Free Flow Power mengatakan bahwa pemasangan turbin di dasar sungai tidak akan mengganggu lalu-lintas kapal. Mereka juga yakin proyek tersebut tidak akan mengganggu ekosistem setempat.
Berbeda dengan bendungan Three Gorges di Cina yang menimbulkan dampak lingkungan besar, teknologi milik Free Flow Power menggunakan generator listrik magnet permanent yang dapat dipasang dalam kelompok kecil di bawah air, menangkap energi kinetic arus air, sehingga pembangunan dam tidak diperlukan. Generator milik mereka, yang terdiri dari enam turbin setiap set, bisa ditambatkan di bawah air dengan cara dipancangkan ke dasar sungai atau ditempelkan ke tiang jembatan.

Free Flow Power telah mendapat izin dari Federal Energy Regulatory Commission telah melakukan studi di 59 lokasi. Pada setiap lokasi akan dipasang ratusan hingga ribuan turbin dalam jarak beberapa kilometre. Biaya diperkirakan $3 Miliar (Rp 27,6 Triliun).

Perusahaan diberi waktu 3 tahun untuk melakukan kajian teknis dan lingkungan di 59 lokasi. Jika hasilnya baik, pengerjaan dimulai 2012. Walaupun teknologi mereka tidak semurah teknologi hidro konvensional, perusahaan meyakinkan pemerintah setempat bahwa harga listrik yang mereka produksi cukup kompetitif.

3.1.4         Tenaga Angin
(Sumber: http://kunaifi.wordpress.com/category/207-tenaga-angin/)

Turbin angin Bahrain WTC

Tiga turbin angin telah dipasang di Bahrain World Trade Center, gedung kembar pancakar langit setinggi 240 meter, di Bahrain. Inilah pertama di dunia di mana turbin angin berkapasitas besar dipasang di gedung komersial. Ketiga turbin ini dipasang untuk membangkitkan energi listrik bagi gedung tersebut. Masing-masing turbin memiliki diameter 29 meters, dipasang pada jembatan-jembatan yang menghubungkan kedua tower.

Untuk meningkatkan efisiensi, gedung dirancang sedemikian sehingga memiliki karakter aerodinamik yang dapat memaksimalkan aliraan udara menuju turbin.
Ketiga turbin ini mampu menghasilkan 1100 hingga 1300 MWh, atau 10-15% kebutuhan listrik gedung tersebut. Jika digunakan untuk rumah, energi yang dihasilkan mampu melistriki 300 rumah selama setahun.

Atas prestasi ini Bahrain WTC telah masuk dalam shortlist untuk mendapatkanEDIE Award for Environmental Excellence.
Proyek yang dikerjakan bersama oleh Atkin Architects and Engineers dan Norwinini menghabiskan biaya 3.5% dari keseluruhan proyek pembangunan Bahrain WTC yang selesai awal April 2008. Walaupun tidak menghasilkan energi terlalu besar, terobosan ini merupakan langkah besar yang patut diapresiasi.

3.1.5         Biomassa
(Sumber: http://kunaifi.wordpress.com/category/204-energi-bio/)

Mengubah sampah menjadi listrik

Tentu kita belum lupa tragedi Leuwigajah. Leuwigajah adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah kota Bandung. Bulan Februari 2005 bukit sampah setinggi 30 meter di TPA ini longsor, menelan korban jiba lebih dari 100 penduduk lokal dan mengakibatkan kerugian material dan merusak lingkungan sekitar TPA tersebut.

Sebenarnya sampah kota bisa diolah supaya memberikan mafaat bagi manusia. Teknologi untuk melakukan hal tersebut sudah ada dan sudah diterapkan di banyak kota dan negara. Tulisan ini menceritakan pengalaman saya beberapa minggu lalu mengunjungi lokasi pembangkit listrik tenaga biogas dari TPA di Perth, Western Australia. Kunjungan ini digagas dalam rangka mengajak jalan-jalan dua orang mahasiswa S3 USU Medan dan IPB Bogor yang sedang mengikuti penelitian singkat diUniversitas Murdoch tempat saya belajar. Ditemani Direktur dan salah satu peneliti diEnvironmental Technology Centre (ETC) Universitas Murdoch, kami mengunjungi satu dari lima pembangkit milik LGP di kawasan Canning Vale, diterima oleh salah satu pegawai LGP yang sedang bertugas. Oh ya, ETC Universitas Murdoch adalah salah satu dari hanya lima ETC yang didirikan PBB (lewat UNEP-IETC) di seluruh dunia.

Perusahaan pembangkit listrik dari TPA ini bernama Landfill Gas and Power Pty Ltddisingkat LGP, sebuah perusahaan swasta milik ACE Holdings Australia. Mulai beroperasi sejah 1993, LGP telah menjadi salah satu pemimpin di pasar energi terbarukan Australia. Mereka bukan hanya bermain di bisnis pembangkit listrik, tapi juga berkontribusi mengurangi emisi CO2 dan methane ke atmosfer. Perlu diketahui bahwa methane adalah gas berbahaya yang dihasilkan oleh tumpukan sampah di TPA. Bahaya bagi kehidupan dan bagi atmosfer. Kontribusi methan terhadap pemanasan global sekitar 21 kali lebih besar daripada CO2.

Setahun, LGP menghasilkan listrik sekitar 75 GWh dari tiga pembangkit merk Catterpilar di Canning Vale, dijual lewat jaringan listrik pemerintah (Western Power) ke pelanggan khusus seperti kantor-kantor pemerintah lokal dan industri-industri skala kecil dan menengah.

Setelah beroperasi selama 16 tahun, pembangkit LGP Canning Vale sudah memasuki tahap akhir dari kontrak yang dimilikinya. Produksi gas mulai turun, demikian juga dengan produksi listrik. Untuk memperpanjang “umur”nya sebelum pindah ke lokasi lain, pihak LGP Canning Vale sedang menjajaki kemungkinan memanfaatkan panas terbuang dari ketiga mesin yang mereka miliki. Setiap mesin melepaskan panas hingga 600 dejarat Celsius pada cerobong asapnya. Salah satu aplikasi yang sedang dijajaki adalah menggunakan panas untuk pembangkit listrik skala lebih kecil.

Apakah Indonesia tertarik mengubah sampah-sampah kota menjadi listrik? Kita tunggu gebrakannya.

3.2            Masalah yang timbul dari Pemanfaatan Teknologi Sumber Energi Terbarukan
3.2.1    Estetika, membahayakan habitat, dan pemanfaatan lahan

Beberapa orang tidak menyukai estetika turbin angin atau mengemukakan isu-isu konservasi alam ketika panel surya besar dipasang di pedesaan. Pihak yang mencoba memanfaatkan teknologi terbarukan ini harus melakukannya dengan cara yang disukai, misal memanfaatkan kolektor surya sebagai penghalang kebisingan sepanjang jalan, memadukannya sebagai peneduh matahari, memasangnya di atap yang sudah tersedia dan bahkan bisa menggantikan atap sepenuhnya, juga sel fotovoltaik amorf dapat digunakan untuk menggantikan jendela.

Beberapa sistem ekstrasi energi terbarukan menghasilkan masalah lingkungan yang unik. Misalnya, turbin angin bisa berbahaya untuk burung yang terbang, sedangkan bendungan air pembangkit listrik dapat menciptakan penghalang bagi migrasi ikan – masalah serius di bagian barat laut pasifik yang telah mengurangi populasi ikan salmon. Pembakaran biomassa dan biofuel menyebabkan polusi udara yang sama dengan membakar bahan bakar fosil, meskipun karbon yang dilepaskan ke atmosfer ini dapat diserap kembali jika organisme penghasil biomassa tersebut secara terus menerus dibudidayakan.

Masalah lain dengan banyak energi terbarukan, khususnya biomassa dan biofuel, adalah sejumlah besar lahan yang dibutuhkan untuk usaha pembudidayaannya.

3.2.2    Konsentrasi
Masalah lain adalah variabilitas dan persebaran energi terbarukan di alam, kecuali energi panas bumi yang umumnya terkonsentrasi pada satu wilayah tertentu namun terdapat pada lokasi yang ekstrim. Energi angin adalah yang tersulit untuk difokuskan, sehingga membutuhkan turbin yang besar untuk menangkap energi angin sebanyak-banyaknya. Metode pemanfaatan energi air bergantung pada lokasi dan karakteristik sumber air sehingga desain turbin air bisa berbeda. Pemanfaatan energi matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun untuk mendapatkan energi yang banyak membutuhkan luas area penangkapan yang besar.

Sebagai perbandingan, pada kondisi standar pengujian di Amerika Serikat energi yang diterima 1 m2 sel surya yang memiliki efisiensi 20% akan menghasilkan 200 watt. Kondisi standar pengujian yang dimaksud adalah temperatur udara 20 oC dan irradiansi 1000 W/m2[14][15].

3.2.3    Jarak ke penerima energi listrik
Keragaman geografis juga menjadi masalah signifikan, karena beberapa sumber energi terbarukan seperti panas bumi, air, dan angin bisa berada di lokasi yang jauh dari penerima energi listrik; panas bumi di pegunungan, energi air di hulu sungai, dan energi angin di lepas pantai atau dataran tinggi. Pemanfaatan sumber daya tersebut dalam skala besar kemungkinan akan memerlukan investasi cukup besar dalam jaringan transmisi dan distribusi serta teknologi itu sendiri dalam menghadapi lingkungan terkait.

3.2.4    Ketersediaan
Salah satu kekurangan yang cukup signifikan adalah ketersediaan energi terbarukan di alam; beberapa dari mereka hanya ada sesekali dan tidak setiap saat (intermittent). Misal cahaya matahari yang hanya tersedia ketika siang hari, energi angin yang kekuatannya bervariasi setiap saat, energi air yang tak bisa dimanfaatkan ketika sungai kering, biomassa memiliki masalah yang sama dengan yang dihadapi dunia pertanian (misal iklim, hama), dan lain-lain. Sedangkan energi panas bumi bisa tersedia sepanjang waktu.