Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Meneropong Energi Terbarukan Delapan Tahun Mendatang

Target porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) seharusnya mencapai 10,4 persen, namun realisasi hanya 7,7 persen.
Jakarta,-- Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih jauh panggang dari api. Sebab, realisasi bauran energi sebesar 7,7 persen dari bauran energi hingga akhir tahun lalu. Padahal, target porsi EBT dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun lalu seharusnya mencapai 10,4 persen.

Ke depan, pemerintah tentu saja perlu berjibaku demi menggapai bauran energi EBT yang diharapkan bisa mencapai 23 persen dalam kurun delapan tahun mendatang. Angka ini tentu bukan hal mudah, mengingat ketergantungan masyarakat akan energi primer masih cukup besar.

Kendati demikian, Menteri Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan optimistis penggunaan EBT bisa meluas asal disulut dengan tarif yang lebih efisien. Maka itu, instansinya menelurkan kebijakan tarif beli listrik PT PLN (Persero) dari pembangkit berbasis EBT melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017.


Lihat juga: MEMANFAATKAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF UNTUK PENINGKATAN TARAF HIDUP

“Sudah banyak pembangkit listrik EBT di Indonesia. Untuk itu, negosiasi tarif dilakukan secara ketat untuk mempertahankan harga yang terjangkau,” kata Jonan.

Namun, tarif listrik saja tentu tidak cukup untuk melesatkan porsi EBT dalam bauran energi. Poin dalam RUEN menyebutkan, pemanfaatan EBT juga perlu merambah bahan bakar kendaraan.

Pasalnya, bauran energi bisa ke angka 23 persen pada 2025 mendatang asal pembangkit berbasis EBT telah mencapai 45,2 Gigawatt (GW) dan pemanfaatan minyak nabati sebanyak 23 juta setara ton minyak (MTOE) per tahun.

Dengan demikian, peningkatan konsumsi EBT memang harus dikebut agar bisa sesuai target. Maka dari itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi mengatakan, dalam tahap awal, dibutuhkan regulasi pemerintah yang sedikit "memaksa" perpindahan konsumsi energi primer ke konsumsi EBT.

Dalam hal ini, ia mencontoh negara-negara Eropa, di mana kendaraan dengan basis mesin yang digerakkan melalui bahan bakar minyak (combustion engine) dilarang mulai tahun 2040 mendatang. Melalui peraturan pemerintah seperti demikian, maka akan tercipta inisiatif untuk menciptakan teknologi berbasis EBT yang lebih efisien.

"Memang pasar mendorong (pemanfaatan EBT), namun harus diinsiasi pemerintah juga. Misalnya, beberapa negara sudah inisiasi mobil listrik seperti Perancis sudah tidak ada lagi mobil combustion engine, Inggris juga begitu, India juga sudah mulai. Namun setelah itu, pemanfaatan EBT akan condong ke market driven," imbuhnya.

Berkaca pada kondisi saat ini, keputusan pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden ihwal pengembangan mobil listrik sebenarnya merupakan regulasi yang bisa menggeser konsumsi energi primer masyarakat Indonesia. Apalagi, pemerintah juga telah berkomitmen untuk memproduksi kendaraan listrik sebesar 20 persen dari total produksi otomotif nasional di tahun 2025 mendatang.



Bahkan menurutnya, jika kebijakan ini dilakukan secara konsisten, bukan tidak mungkin target bauran energi di tahun 2050 sebesar 31 persen bisa terlampaui. Dengan demikian, masih ada harapan bahwa target meningkatkan porsi EBT di dalam bauran energi bisa tercapai asal regulasi yang mendorongnya juga diterbitkan sebelum tahun 2025.

"Adanya perkembangan teknologi seperti ini bisa membuat pertumbuhan penggunaan EBT bersifat eksponensial, tidak linear lagi. Sehingga, di masa depan, EBT bisa berkontribusi lebih banyak lagi di dalam bauran energi," tambah Rinaldy.

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma menilai ada kemungkinan porsi EBT di dalam bauran energi tak mencapai target hingga 2025 mendatang. Sebab, dengan kapasitas pembangkit terpasang mencapai 7 GW, masih dibutuhkan tambahan 38 GW lagi demi mencapai target delapan tahun kemudian.

“Padahal, untuk mencapai posisi 7 GW seperti saat ini saja sudah cukup kerja keras. Makanya, sesuai dengan pembicaraan di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian beberapa waktu lalu, mungkin capaian bauran EBT sedikit di bawah 23 persen,” paparnya.

Jika pemerintah memang kukuh memasang target yang sama, maka ada beberapa hal yang perlu diubah. Yang pertama, tentu dari sisi regulasi. Surya mengatakan, pemerintah harus membuat Undang-Undang (UU) energi terbarukan agar segala hal mengenai pengembangan EBT di Indonesia punya dasar hukum yang kuat.

Pasalnya, dasar hukum dibutuhkan agar investor di bidang pengembangan EBT makin berminat menanamkan modalnya di Indonesia. “Ketika kepastian hukumnya lebih rendah, akibatnya sering terjadinya perubahan kebijakan terhadap EBT. Sementara banyak keluhan-keluhn investor ketika berbisnis di Indonesia, sering terjadi perubahan-perubahan menyebabkan ketidakpastian aspek bisnis,” paparnya.

Lihat juga: Macam-Macam Sumber Energi Terbarukan dan Tak Terbarukan

Selain kepastian regulasi, Surya juga bilang bahwa perkembangan teknologi juga perlu menjadi konsiderasi. Sebab, jika teknologi terus diimpor dan tak ada aktivitas riset, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk melahirkan teknologi secara mandiri.

Padahal, kemandirian teknologi bisa berimbas kepada efisiensi, yang nantinya juga berpengaruh ke tarif EBT sendiri. Apalagi menurutnya, penentuan tarif energi yang ideal itu harus sesuai dengan keekonomiannya, seperti tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007.

“Berbagai upaya telah dilakukan dalam hal teknologi, misalnya di tahun 2006 dulu Kementerian Riset dan Teknologi membuat buku putih dan didalamnya ada roadmap upaya-upaya untuk melakukan riset dan pengembangan agar melahirkan teknologi sesuai waktunya. Harapannya, semoga memang di tahun-tahun tersebut ada teknologi yang bisa dikuasai,” ujar Surya.

Meski masih banyak yang perlu dibenahi, ia mengaku bahwa aksi pemerintah saat ini sudah bisa menopang pengembangan EBT. Yang pertama adalah perizinan usaha, di mana kini hanya dibutuhkan 16 izin dari awalnya 56 izin. Selain itu, kebijakan tarif jual listrik dari pembangkit EBT kepada PLN yang didasarkan atas negosiasi pun dianggapnya sebagai sinyal positif.

“Karena kalau melihat pengembangan EBT, tentu butuh strategi. Kami cukup senang pemerintah juga ingin mempercepat penggunaan EBT dengan mengubah beberapa paradigma,” lanjutnya.

Menambah porsi EBT di dalam bauran energi memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Tentu diperlukan stimulus demi mengubah pola konsumsi energi masyarakat dan juga insentif tersendiri bagi pengembang energi baru terbarukan.

Di tengah naik-turunnya keyakinan akan pengembangan EBT, pemerintah tetap optimistis. Menteri ESDM Ignasius Jonan yakin bahwa bauran energi di tahun 2025 bisa mencapai 23 persen. Bahkan, ia juga yakin bauran energi bisa mencapai 17 persen hingga 18 persen dalam waktu tiga tahun mendatang.

“Target pemerintah sudah jelas, EBT dalam bauran energi sebesar 23 persen pada 2025,” paparnya.

Sumber:www.cnnindonesia.com

Post a Comment for "Meneropong Energi Terbarukan Delapan Tahun Mendatang"